Jawa adalah salah satu etnik yang memiliki kearifan lokal dalam kepemimpinan. Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa mendapat perhatian yang tinggi karena terkait erat dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi pada dunia supranatural. Ini dapat dilihat dari adanya pandangan-pandangan tradisional yang menganggap raja sebagai pemimpin sekaligus ”wakil atau titisan” dewa. Sebagai seorang pemimpin dan wakil Tuhan, tugas seorang pemimpin adalah menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam dan Tuhan. Di setiap budaya suku bangsa, tetapi nilai-nilai kepemimpinan Jawa memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang ada pada suku bangsa lain yaitu nilai-nilai kepemimpinan tersebut diajarkan dan dipegang teguh di semua lapisan mayarakat, mulai dari tua, muda, laki-laki, perempuan, bangsawan dan rakyat jelata. Ajaran kepemimpinan ini terlihat jelas dalam berbagai bentuk ungkapan paribasan yang muncul dalam banyak interaksi sosial.
Di bawah ini terdapat beberapa paribasan Jawa yang menunjuk sikap positif seorang pemimpin. Paribasan tersebut saya tuliskan di sini untuk menunjukkan betapa tingginya perhatian budaya Jawa terhadap kepemimpinan. Sebenarnya masih ada banyak paribasan yang menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, saya mencoba mengulasnya beberapa paribasan saja.
Menghormati dan Menjaga Aib Pimpinan
”He that cannot obey cannot command” (orang yang mau mematuhi perintah atasan adalah orang yang akan sanggup untuk memimpin dengan kelak). Peribahasa bahasa Inggris ini mengajarkan pada kita bagaimana seorang bawahan seharusnya bersikap pada atasan. Falsafah dengan makna sejenis di atas juga ada dalam ajaran Jawa. Meskipun bunyinya tak sama, paribasan ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi” turut mengajarkan bagaimana seorang Jawa bersikap pada atasannya.
Paribasan tersebut mengajarkan bahwa bawahan harus dapat bekerjasama dengan atasan dan tidak boleh ”sok” apalagi mempermalukan atasan. Bawahan dapat saja cepat dan cekatan, tapi jangan mendahului pimpinan, bawahan dapat saja pintar, tapi jangan lantas menggurui pimpinan, boleh dapat saja bertanya tapi jangan sampai pertanyaannya tersebut kemudian menyudutkan pimpinan. Simpulannya, bawahan diharapkan untuk tidak bersikap dan bertindak yang dapat mempermalukan pimpinan, walau ia lebih mampu dari pimpinannya. Falsafah ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi malah sebaliknya, akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan didengarkan oleh orang lain. Inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan (presiden, gubernur, menteri, direktur) dan citra lembaga yang dipimpinnya.
Sayangnya, falsafah ”menghormati pimpinan” yang ada dalam paribasan ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin (dari suku Jawa) dipermalukan, bahkan dimakzulkan oleh anak buahnya (yang juga dari suku Jawa), hanya karena pemimpin tersebut beda kepentingan, beda partai, dan beda idiologi. Padahal pemimpin yang dimakzulkan tersebut hanya berbuat beberapa kesalahan kecil dan belum berbuat banyak untuk melaksanakan amanah yang diembannya.
Selain falsafah ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi,” terdapat paribasan lain yang mengajarkan bagaimana seorang bawahan bersikap pada atasan. Paribasan Jawa yang berbunyi “mikul dhuwur mendem jero” adalah salah satu falsafah hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat ditarik ke dalam ranah kepemimpinan. Paribasan ini mengajarkan seseorang untuk bisa mengangkat derajat dan martabat pimpinannya, entah itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja ataupun lebih luas lagi. Bawahan harus dapat menutupi aib pimpinan tersebut, serta tidak membuka dan mengekpos aib tersebut kepada khalayak umum karena pada dasarnya, aib pimpinan adalah aibnya sendiri. Dengan membuka aib orang untuk tujuan jahat, akan mengundang karma, karena kelak, aibnya sendiri akan dibuka oleh orang lain.
Dalam konteks masa kini, buka membuka aib pimpinan baik yang berasal dari Jawa maupun nonJawa sangat jamak dijumpai, entah dalam rangka untuk merebut posisi pimpinan tersebut, menghancurkan usaha yang dilakukannya, atau dengan tujuan politis. Bawahan, demikian mudah mengekspos aib pimpinan pada media dan karenanya situasi masyarakat seringkali menjadi tidak tenang.
Menempatkan Diri
Dalam masyarakat Jawa, terdapat falsafah kepemimpinan yang menjelaskan salah satu sifat baik dari seorang pemimpin yaitu pandai menempatkan diri. Falsafah ini berbunyi ”ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana,” yang artinya, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Seseorang pemimpin, harus dapat menempatkan ucapan dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan penghargaan bagi dirinya. Seseorang pemimpin yang baik juga tidak berusaha mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya. Sikap seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap profesional.
Sayangnya, sikap ini agak jarang kita jumpai saat ini. Dalam bidang politik misalnya, sangat banyak orang Jawa yang memiliki posisi penting di pemerintahan atau parlemen seringkali mengeluarkan pernyataan tentang satu hal yang sebenarnya hal tersebut tidak ia ketahui secara jelas. Banyak orang Jawa muncul di TV dan mengeluarkan pernyataan yang dapat menimbulkan kebingungan bahkan kepanikan dalam masyarakat. Banyak pula orang Jawa yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi apa-apa dalam sebuah bidang seperti dunia politik, namun karena ia mempunyai kekayaan, nekat menerjunkan diri dalam dunia tersebut. Dalam bidang hukumpun, banyak orang-orang Jawa yang tidak memiliki latar belakang hukum, seringkali mengintervensi peradilan dan karenanya kasus-kasus yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi berbelit-belit.
Bersikap Tenang dalam Menghadapi Masalah
Filsafat kepemimpinan Jawa juga mengajarkan agar pemimpin bersifat tenang dan berwibawa, tidak terlalu terheran-heran pada suatu hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong. Itulah arti dari paribasan aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh.
Sayangnya falsafah ini juga telah mulai ditinggalkan masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin Jawa yang terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah emosi dan gemar melakukan perang lewat media hanya untuk merespon sesuatu yang sebenarnya jika didiamkan tidak membawa masalah apa-apa untuk dirinya, terlalu kagum dan terheran-heran dengan kemajuan bangsa lain dan dengan membabi-buta mengidolakan bangsa tersebut, namun di lain pihak, ketika diberi masukan akan menolak masukan itu karena kecongkakannya dan ketinggian hatinya.
Menjadi Teladan yang Baik
Terdapat sebuah paribasan yang mengajarkan hal ini yaitu paribasan ”kacang mangsa ninggala lanjaran”. Paribasan Jawa ini hampir serupa dengan peribahasa Indonesia yang berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Paribasan ini menggambarkan bentuk hubungan darah antara anak dengan orang tuanya. Hubungan tersebut berbentuk adanya kesamaan sikap, sifat dan bentuk fisik.
Dalam konteks masyarakat berbangsa dan bernegara, pohon yang dimaksud adalah para pemimpin masyarakat dan buah yang jatuh adalah masyarat yang dipimpinnya. Kita meletakkan hubungan masyarat dengan para pemimpin seperti pola hubungan anak dengan orangtuanya. Jika para pemimpin jujur maka masyarat yang dipimpinnyapun ikut jujur. Jika para pemimpin bekerja keras memajukan bangsa, maka masyaratpun akan bekerja lebih keras untuk memajukan hidup mereka. Jika masyarat berbicara santun, itu semua karena masyarat dipimpin oleh pemimpin yang berlisan santun. Begitu seterusnya.
Dalam kenyataannya, pohon yang baik sangat jarang kita jumpai. Pohon yang buruk akhir-akhir ini telah banyak dikenali. Terbukti dari banyaknya pemimpin yang diungkap KPK dan aparat hukum lainnya, terlibat kasus tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan baik itu dalam bentuk KKN atau kejahatan lainnya. Adalah wajar jika kemudian banyak masyarakat mencontoh pimpinan mereka untuk berbuat buruk sehingga hampir mustahil bagi kita di jaman ini untuk tidak menjumpai sebuah berita kejahatan di media massa setiap harinya.
Seorang pemimpin harus juga bersikap ”ing ngarso sung tulodho”, yaitu selain mampu membina, membimbing dan mengarahkan bawahannya, juga harus dapat memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatannya. Seorang pemimpin juga harus dapat ”ing madyo mangun karsa”, yaitu berada di tengah-tengah bawahannya dengan penuh gairah, memberi mereka semangat dan motivasi untuk berkerja lebih baik. Seorang pemimpin harus juga ”tut wuri handayani”, yaitu memberi pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang bawahannya, agar bawahan tersebut berani tampil dan maju dengan penuh tanggungjawab. Namun sayangnya, banyak diantara pemimpin Jawa, kurang mampu untuk mewujudkan sikap kepemimpinan tersebut.
Memiliki Sikap Dewasa dan Legawa
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”addamara tanggal pisan kapurnaman.” Paribasan ini menggambarkan dua orang yang bertikai kemudian salah satu pihak mengadukan pihak yang lain ke pengadilan, namun selang beberapa waktu kemudian, perkara ini dibatalkan karena pihak pengadu memperoleh kesadaran, lebih baik perkara ini diselesaikan secara damai dan kekeluargaan daripada lewat pengadilan.
Faktanya, jarang sekali pemimpin Jawa yang bertikai dan melanjutkan pertikaian tersebut ke meja hijau, selang beberapa lama mengakhiri pertikaian tersebut secara ikhlas lewat mediasi. Pertikaian biasanya berhenti ketika pengadilan telah memutuskan perkara. Kadang-kadang, meskipun perkara telah diputuskan, pertikaian tersebut tetap saja dilanjutkan, baik itu dalam bentuk banding atau dalam bentuk pengerahan massa.
Berani Berbuat Baik.
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”bener ketenger, becik ketitik, ala ketara”. Paribasan ini mengingatkan bahwa semua perbuatan akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain pasti akan mendapat balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan menghasilkan dosa dan rasa malu jika ketahuan.
Pada faktanya, karena negara ini demikian bermasalah dan sukar bagi masyarakat kita untuk membedakan mana orang baik dan mana orang yang jahat, banyak orang yang semula bermaksud melakukan perbuatan baik semisal berbuat jujur, menjadi urung niatnya untuk melakukan kejujuran tersebut. Terkadang, orang yang jujur tidak mendapat penghargaan, malah disingkirkan atau bahkan dilenyapkan.
Bersikap Adil
Sikap ini terdapat pada paribasan ”denta denti kusuma warsa sarira cakra”. Paribasan ini menggambarkan hakikat atau sifat asli dari keadilan menurut pandangan orang Jawa. Yang benar tidak dapat disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan. Kejahatan bisa saja direkayasa menjadi kebaikan, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara. Cepat atau lambat wujud kejahatan tersebut akan tampak sebagaimana aslinya. Yang salah kelihatan salah, yang benar tampak benar.
Sayangnya, banyak orang Jawa di masa kini yang berusaha bersikap apatis terhadap dengan paribasan ini. Ketika kepentingan muncul, asalkan ada uang dan kekuasaan, yang benar dapat menjadi salah, yang salahpun dapat menjadi benar.
Bersedia untuk Mengalah
Sikap ini terdapat pada paribasan ”wani ngalah luhur wekasane”. Paribasan ini merupakan sebuah anjuran agar berani mengalah, memberikan tempat dan kesempatan pada orang lain sehingga tidak timbul konflik. Dengan mengalah, seseorang mungkin dapat menemukan hal-hal baru yang lebih bermanfaat.
Pada fakanya, sangat jarang dewasa ini kita jumpai pemimpin yang berani untuk mengalah. Mereka biasanya mengalah setelah pengadilan memutuskan siapa yang menang perkara. Faktor harga dirilah yang membuat mereka seperti itu.
Menjaga Kata-kata
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton”. Paribasan ini merupakan ajakan untuk berbicara dengan hati-hati, tidak ”ngawur,” serta tidak melontarkan yang dapat memicu pertikaian (Subroto&Tofani, –). Isi pembicaraan harus ”berisi,” memiliki landasan kuat serta dapat dipertanggungjawabkan. Paribasan ini dipakai untuk memberi nasehat pada orang-orang yang suka menyebarkan kebohongan, menganggap salah hal-hal yang masih samar-samar, dan menjelek-jelekkan orang lain.
Faktanya, banyak pemimpin politik kita gemar mengumbar kata. Saling serang melalui media. Menjelek-jelekkan pemimpin lain yang bukan dari partai atau golongannya sehingga masyarakat menjadi kacau mendengarkan pertikaian-pertikaian tersebut.
Jangan Jumawa dan Merasa Serba Bisa
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa”. Merasa dapat melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dianggap sebagai sebuah sikap yang ceroboh. Merasa dapat berbuat sesuatu, tidaklah cukup membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat sesuatu. Idealnya, seseorang harus punya pengalaman melakukan sesuatu hal dan berhasil, baru ia boleh menyatakan dirinya ”bisa” melakukan hal tersebut. Orang-orang yang merasa bisa melakukan sesuatu kemudian menyatakan bisa melakukan itu dan berani mengatakan ”bisa”, dapat dikatakan memiliki sifat buruk karena andaikata orang tersebut dipercaya melakukan sesuatu dan kemudian gagal karena ternyata ia tidak bisa, maka hal ini akan memalukan dan tentu saja merugikan banyak pihak.
Sayangnya orang-orang yang tidak gegabah untuk mengatakan bisa pada setiap amanah, sangat jarang kita jumpai. Apalagi amanah yang berhubungan dengan memimpin. Jika orang-orang jaman dahulu harus berfikir keras sebelum menerima sebuah amanah memimpin, orang-orang jaman sekarang akan langsung mengatakan ”bisa” tanpa berfikir apakah mereka benar-benar mampu melakukannya. Tidak hanya itu, ada banyak dari kita bahkan dengan sangat rela mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menjadi pemimpin.
Gemar Menyantuni Rakyat
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”. Paribasan ini merupakan gambaran dari sikap ideal hubungan pemimpin dengan bawahan. Sikap ideal ini ditandai dengan kondisi dimana pemimpin memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau menyantuni mereka dengan baik. Sikap pimpinan yang seperti inilah yang dapat menyebabkan bawahan bersedia berbakti dengan ikhlas kepada sang pemimpin tersebut.
Sikap menyantuni rakyat ini jarang ditujukkan oleh pemimpin kita. Kebanyakan sikap yang ditunjukkan adalah menyantuni parpol, kepentingan, diri sendiri dan keluarga. Inilah yang di kemudian hari banyak menyebabkan pemimpin Jawa tersandung masalah hukum.
Mencintai Kehidupan yang Rukun
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Ungkapan ini mengisyaratkan bagaimana sesungguhnya cita-cita hidup orang Jawa adalah dapat hidup secara damai dan rukun. Masyarakat Jawa tidak menyukai konflik karena pada dasarnya, konflik membawa banyak kemudhorotan.
Filsafah ini kontradiktif sekali dengan fakta yang terjadi di negeri ini. Banyak berita di media massa yang mengekspos perseteruan-perseteruan para pemimpin Jawa negeri ini dan menciptakan idiom-idiom baru dalam masyarakat seperti idiom perseteruan ”Cicak dan Budaya”, ”SBY dan Megawati”, ”Partai Koalisi Pemerintah dan Partai Oposisi” dan lain sebagainya. Idiom-idiom tersebut menunjukkan betapa tidak rukunnya orang Jawa.
Tanpa Pamrih
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Paribasan ini menyarankan agar orang Jawa tidak boleh perhitungan dalam bekerja. Orang Jawa harus mengutamakan kerja keras dan jangan terlalu berharap pada nilai materi yang didapat dari pekerjaan itu, karena pada dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik, semakin tinggi pula penghargaan orang terhadap kerjakeras kita. Selain itu, pamrih dapat mendorong orang untuk menghalalkan segala cara dalam mewujudkan cita-citanya. Pamrih juga dapat membuat orang menjadi materialistik.
Sayangnya, seseorang yang bekerja tanpa pamrih telah menjadi barang langka dewasa ini, utamanya dalam birokrasi. Biasanya, para birokrat akan bekerja dengan semangat dan cepat jika ada imbalan, dan sebaliknya, akan bekerja ala kadarnya serta sangat lambat jika tidak ada imbalan.
Tidak Tergesa-gesa dalam Mengambil Keputusan
Sikap kepemimpinan yang baik ini terdapat dalam paribasan ”kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala”. Paribasan ini mengingatkan rakyat Jawa (utamanya yang menjadi pemimpin) untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau mengerjakan sesuatu dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan keuntungan. Orang Jawa harus menggunakan perhitungan yang matang, sebab tanpa perhitungan yang matang hasil yang dicapai tidak akan memuaskan, bahkan mengundang mara bahaya.
Sikap ini juga jarang sekali dimiliki pemimpin Jawa dewasa ini. Yang banyak adalah para pemimpin yang berlomba-lomba untuk sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaan mereka demi memburu upah, tanpa memikirkan kualitas dan manfaat dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Terkadang, mereka seringkali cepat-cepatan memutuskan perkara tanpa berpikir panjang. Ini semua terjadi karena sebenarnya mereka telah menerima ”amplop” dari salah satu pihak yang berperkara.
Kesimpulan dan Saran…..Suku Jawa adalah suku yang besar. Dari suku ini seringkali lahir para pemimpin besar baik itu dimasa lalu, kini dan mungkin di masa yang akan datang. Suku ini ini dibimbing oleh budaya Jawa yang agung dan memiliki banyak sekali falsafah kepemimpinan yanag agung pula. Salah satunya falsafah kepemimpinan aksiomal dalam paribasan Jawa.
Paribasan tidak hanya mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas falsafah-falsafah kebatinan, tapi juga tentang konsep-konsep kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin, banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna di balik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Referensi Sari-sari piwulangan Basa Jawi Pepak.